Media Massa Pembentuk Multikulturalisme Indonesia


Perang adat antar-dua kelompok warga di Kelurahan Kwamki Lama, Mimika, Papua Barat, tadi pagi Rabu (6/1), kembali pecah. Korban pun terus berjatuhan. Meski tidak meluas dan berdampak bagi warga Mimika, polisi mengaku kesulitan mendamaikan kedua kelompok yang berperang. Perang antara warga Kompleks Mambruk II dan Kompleks Tunikama, Kios Panjang, Kelurahan Kwamki Lama, Mimika, kembali berlanjut sekitar pukul 05.40 waktu setempat. Kedua kelompok saling serang dengan menggunakan senjata tradisional. Bentrokan yang melibatkan ratusan orang ini sulit dilerai polisi setempat. Polisi akhirnya hanya berjaga di sekitar medan peperangan. (Metrotvnews.com, Timika)

Bangsa Indonesia merupakan kumpulan masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, ras, etnis, budaya, dan agama. Identitas sebagai bangsa Indonesia tidak akan luput dari latar belakang budaya yang dianut warga negaranya. Tidak salah jika Indonesia memiliki prinsip Bhineka Tunggal Ika yang pada dasarnya adalah kesediaan warga untuk bersatu dalam perbedaan (unity in diversity). Maksud bersatu dalam perbedaan adalah kesediaan warga bangsa untuk setia pada lembaga yang disebut negara dan pemerintahannya, tanpa menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa, adat, ras, dan agamanya.


Miris sekali, dibalik keanekaragaman budaya bangsa yang di elu-elukan banyak peristiwa bentrokan yang terjadi akibat keanekaragaman tersebut. Salah satunya seperti yang dikutip pada penggalan berita di paragraf pertama tentang perang adat antara dua kelompok warga Mimika, Papua Barat. Ini hanya salah satu contoh kasus dari sekian banyak peristiwa yang melibatkan konflik antar suku. Tidak hanya antar suku, bahkan konflik antar agama pun sering terjadi seperti kasus Poso antara umat Islam dan Kristen, beberapa tahun silam. Ini membuktikan bahwa masyarakat heterogen yang tinggal dalam satu wilayah sangat rawan terjadi konflik.

ilustrasi gambar dari google

Lalu bagaimana keadaan masyarakat Indonesia dewasa ini? Apakah prinsip negara sebagai Bhineka Tunggal Ika terwujud? Apakah Multikulturalisme telah berkembang?. Jawabannya tentu dapat kita telaah secara seksama dari berbagai kasus yang  terjadi di negara ini. Terutama peristiwa yang melibatkan peperangan antar suku dan agama.  Dapat dipahami bahwa makna dari Bhineka Tunggal Ika memiliki persamaan alur pemikiran dengan Multikulturalisme.

Pemahaman tentang Multikulturalisme harusnya menjadi salah satu prinsip bagi seluruh bangsa Indonesia. Dengan multikulturalisme, segala perbedaan dapat dinetralisir karena antar suku, agama maupun ras yang berbeda sama-sama saling menghargai dan berkomitmen terhadap keberagaman budaya. Multikulturalisme ini berkembang pada 1970-an. Pada tahun itu, pemerintah Kanada dan Australia menetapkan multikulturalisme dalam kebijakan mereka.  Sementara di Indonesia, multikulturalisme berkembang sekitar 1998 setelah terjaadi penyerangan terhadap etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei serta konflik etnis dan agama di sejumlah daerah.

Multikulturalisme adalah komitmen pada keseragaman budaya atau commitments to cultural diversity (Goldberg, 1994). Artinya, mulikulturalisme lebih menekankan paada keberagaman pada tingkat kaum, puak, golongan. Keberagaman ini selanjutnya dituangkan dalam berbagai kebijakan yang dipegang oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintahlah yang lebih berperan untuk membuat kebijakan yang tidak memihak salah satu budaya atau agama sehingga tidak menimbulkan tirani minoritas dalam bermasyarakat.
Terhitung sejak berkembangnya multikulturalisme di Indonesia, maka negara ini baru saja menginjak 14 tahun berkenalan dengan paham multikulturalisme. Sehingga jika dikalkulasikan, kebanyakan bangsa kita belum memahami tentang konsep multikulturalisme yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu berdampak pada maraknya peristiwa pemberontakan antar budaya, ras, etnis bahkan suku dan agama. Multikulturalisme timbul dari kesadaran pribadi yang peduli pada perdamaian. Terutama bagi mereka yang hidup berdampingan dalam satu wilayah walaupun berbeda suku maupun agama.
 Peran Media Massa Membentuk Multikulturalisme
Media Massa (Mass Media)- singkatan dari Media Komunikasi merupakan channel of mass communication, yaitu saluran, alat atau sarana yang dipergunakan dalam proses komunikasi massa (Romli, 2005; 5). Komunikasi Massa artinya menyampaikan informasi atau gagasan yang ditujukan kepada orang banyak melalui media massa. Media massa merupakan sarana stategis untuk menyampaikan misi Multikulturalisme.

Dewasa ini mulai banyak media yang secara tidak langsung membawa misi multikulturalisme pada konten beritanya. Contohnya saja berita tentang perayaan Tahun Baru Imlek di Singkawang Januari 2012 lalu yang disiarkan oleh beberapa statsiun televisi. Ini merupakan misi multikulturalisme, melihat latar belakang Singkawang yang dihuni oleh berbagai etnis, suku bahkan agama. Namun mereka satu sama lain saling menghargai hari raya tetangganya. Dalam arti, ikut meramaikan bahkan larut dalam euforia hari raya suku atau agama lain.

Disinilah peran media yang sangat kuat untuk menciptakan iklim multikulturalisme pada bangsa Indonesia. Segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat multi, plural, banyak atau jamak, hanya Tuhan yang bersifat mono, tunggal atau esa. Multikulturalisme merupakan hukum alam yang tidak dapat ditentang oleh siapapun. Media yang mengabaikan paham ini akan ketinggalan zaman. Perlu diingat, media bukan hanya sekedar latah dengan tren multikulturalisme karena di pihak lain masih banyak masyarakat yang intoleran, eksklusif bahkan fanatik. Media harus berusaha keras mengemas misi multikulturalisme sampai melekat pada pribadi bangsa.

Selain kewajiban Media Massa untuk mengusung multikulturalisme, pada prakteknya para jurnalis turut berperan dalam mengemban misi tersebut. Artinya, mereka wajib melihat setiap peristiwa secara objektif meskipun jurnalis itu termasuk dari salah satu suku, agama atau ras yang sedang bertikai (misalnya). Bukannya menciptakan atmosfer yang baik malah membuat suasana semakin gerah bahkan memanas akibat pemberitaan yang tidak berimbang (lebih memihak salah satu yang bertikai). Inilah tantangan bagi media untuk menciptakan jurnalis yang paham multikulturalisme dan keberimbangan sebuah informasi.

Dalam buku Menentang Tirani Mayoritas karya Ahmad Junaidi dkk, menyebutkan bahwa untuk menuju media atau jurnalis multikulturalis ada beberapa langkah yang harus ditempuh : (1) menjadikan multikulturalisme sebagai (sub) ideologi, (2) pelatihan jurnalisme multicultural, (3) mempelajari dan memahami kultur, etnik, dan agama lain, (4) memperbanyak peliputan dan pemberitaan yang menggambarkan keragaman kultur, etnik dan agama, dan (5) mengembangkan jurnalisme damai.[]

Related Post



Posting Komentar