Etika Komunikasi Massa


 2.1 Pengertian Etika Komunikasi Massa
Sobur (2001) menyebutkan etika pers atau etika komunikasi massa adalah filsafat moral yang berkenaan kewajiban-kewajiban pers tentang penilaian pers yang baik dan pers yang buruk. Dengan kata lain, etika pers adalah ilmu atau studi tentang peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku pers atau apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers. Pers yang etis adalah pers yang memberikan informasi dan fakta yang benar dari berbagai sumber sehingga khalayak pembaca dapat menilai sendiri informasi tersebut.

Lebih jauh lagi Sobur (2001) mengemukakan etika pers adalah kesadaran moral, yaitu pengetahuan tentang pers baik dan buruk, benar dan salah, tepat dan tidak tepat, bagi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers. Harus ada etika dalam pergaulan hidup, baik yang tersurat maupun yang tersirat, tidak ada orang yang memperdebatkannya. Adanya jiwa pengabdian setia serta persiapan teknis dan mental bagi pelaksanaan suatu profesi.

ilustrasi dari google

Ada beberapa rumusan sederhana yang dirangkum dari beberapa pendapat pakar komunikasi mengenai etika dalam komunikasi massa, yaitu :
a) Berkaitan dengan informasi yang benar dan jujur sesuai fakta sesungguhnya.
b) Berlaku adil dalam menyajikan informasi, tidak memihak salah satu golongan.
c) Gunakan bahasa yang bijak, sopan dan hindari kata-kata provokatif.
d) Hindari gambar-gambar yang seronok.

Shoemaker dan Reese, mengemukakan perdapatnya mengenai Etika Komunikasi Massa dalam Nurudin (2003), yaitu: 1) Tanggung Jawab 2) Kebebasan Pers 3) Masalah Etis 4) Ketepatan dan Objektivitas 5) Tindakan Adil untuk Semua Orang.

2.1.1 Tanggung Jawab
Tanggung jawab mempunyai dampak positif. Dengan adanya tanggung jawab, media akan berhati-hati dalam menyiarkan atau menyebarkan informasinya. Seorang jurnalis atau wartawan harus memiliki tanggung jawab dalam pemberitaan atau apa pun yang ia siarkan; apa yang diberitakan atau disiarkan harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada Tuhan, masyarakat, profesi, atau dirinya masing-masing. Jika apa yang diberitakan menimbulkan konsekuensi yang merugikan, pihak media massa harus bertanggung jawab dan bukan menghindarinya. Jika dampak itu sudah merugikan secara perdata maupun pidana, media massa haris bersedia bertanggung jawab seandainya pihak yang dirugikan tersebut protes ke pengadilan.

2.1.2 Kebebasan Pers
Kebebasan yang bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab. Dengan kebebasanlah berbagai informasi bisa tersampaikan ke masyarakat. Jakob Oetama (2001) dalam Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus mengemukakan bahwa “pers yang bebas dinilainya tetap bisa lebih memberikan kontribusi yang konstruktif melawan error and oppression (kekeliruan dan penindasan), sehingga akal sehat dan kemanusiaanlah yang berjaya”. Robert A. Dahl mengatakan bahwa kebebasan pers menjadi penting sebagai the availability of alternative and independent source of information.

2.1.3 Masalah Etis
Jurnalis itu harus bebas dari kepentingan. Ia mengabdi kepada kepentingan umum. Walau pada kenyataannya bahwa pers tidak akan pernah lepas dari kepentingan-kepentingan, yang diutamakan adalah menekannya, sebab tidak ada ukuran pasti seberapa jauh kepentingan itu tidak boleh terlibat dalam pers.  Ada beberapa ukuran normatif yang dijadikan pegangan oleh pers:

  1. Seorang jurnalis sebisa mungkin harus menolak hadia, alias “amplop, menghidari menjadi “wartawan bodrek”.
  2. Seorang jurnalis perlu menghindari keterlibatan dirinya dalam politik, atau melayani organisasi masyarakat tertentu, demi menghindari conflict of interest.
  3. Tidak menyiarkan sumber individu jika tidak mempunyai nilai berita (news value).
  4. Wartawan atau jurnalis harus mencari berita yang memang benar-benar melayani kepentingan public, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.
  5. Seorang jurnalis atau wartawan harus melaksanakan kode etik kewartawanan untuk melindungi rahasia sumber berita. Tugas wartawan adalah menyiarkan berita yang benar-benar terjadi.
  6. Seorang wartawan atau jurnalis harus menghindari praktek palgiarisme.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), diantaranya adalah :
  1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar
  2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber berita.
  3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.
  4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah sadis, dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
  5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
  6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
  7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melahani hak jawab.
2.1.4 Ketepatan dan Objektivitas
Ketepatan dan objektivitas di sini berarti dalam menulis berita wartawan harus akurat, cermat, dan diusahakan tidak ada kesalahan. Objektivitas yang dimakusd adalah pemberitaan yang didasarkan fakta-fakta di lapangan, bukan opini wartawannya. Oleh sebab itu harus ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
  • Kebenaran adalah tujuan utama; orientasi berita yang berdasarkan kebenaran harus menjadi pegangan pkok setiap wartawan.
  • Objektivitas dalam pelaporan beritanya merupakan tujuan lain untuk melayani pbulik sebagai bukti pengalaman profesional di dunia kewartawanan. Objektif itu berarti tidak berat sebalh; harus menerapkan prinsip cover both sides.
  • Tiada maaf bagi wartawan yang melakukan ketidakakuratan dan kesembronoan dalam penulisan atau peliputan beritanya. Dalam hal ini, wartawan dituntuk untuk cermat di dalam proses peliputannya.
  • Headline yang dimunculkan harus benar-benar sesuai dengan isi yang diberitakan.
  • Penyiar radio atau reporter televisi harus bisa membedakan dan menekankan dalam ucapannya mana laporan berita dan mana opini dirinya. Laporan berita harus bebas dari opini atau bias dan merepresentasikan semua sisi peristiwa yang dilaporkan.
  • Editorial yang partisansip dianggap melanggar profesionalisme atau semangat kewartawanan. Editorial atau tajuk rencana yang dibuat, meskipun subjektif sifatnya (karena merepresentasikan kepentingan media yang bersangkutan) harus ditekan untuk “membela” sat golongan dan memojokkan golongan lain. Praktik jurnalisme ini sangat sulit dilakukan oleh media cetak yang awal berdirinya sudah partisansip, tetapi ketika dia sudah mengklaim media umum, tidak ada alasan untuk membela golongannya.
  • Artikel khusus atau semua bentuk penyajian yang isinya berupa pembelaan atau keseimpulan sendiri penulisnya harus menyebutkan nama dan identitas dirinya.
2.1. 5 Tindakan Adil untuk Semua Orang
  • Media harus melawan campur tangan individi dalam medianya. Artinya, pihak media harus berani melawan keistimewaan yang diinginkan seorang individu dalam medianya.
  • Media tidak boleh menjadi “kaki tangan” pihak tertentu yang akan memengaruhi proses pemberitaannya.
  • Media berita mempunyai kewajiban membuat koreksi lengkap dan tepat jika terjadi ketidaksengajaan kesalahan yang dibuat (fair play).
  • Wartawan bertanggung jawab atas lapprang beritanya kepada public dan public sendiri harus berani menyampaikan keberatannya pada media.
  • Media tidak perlu melakukan tuduhan yang bertubi-tubi pada seseorang atas suatu kesalahan tanpa member ksempatan tertuduh untuk melakukan pembelaan dan tanggapan. Media dilarang melakukan trial bu the press (media massa sudah mengadili seseorang sebelum pengadilan memutuskan ia bersalah atau tidak).
 2.2 Pentingnya Etika Komunikasi Massa
Etika merupakan suatu perilaku yang mencerminkan itikad baik untuk melakukan suatu tugas dengan kesadaran, kebebasan yang dilandasi kemampuan. Beberapa aspek moral atau etika yang terkandung dalam prinsip-prinsip jurnalistik antara lain: kejujuran, ketepatan atau ketelitian, tanggung jawab, dan kritik konstruktif.

Dalam perspektif komunikasi, pembahasan tentang etika komunikasi akan dititikberatkan pada pengertian tentang etika itu sendiri. Untuk mengukur kualitas etika yang baik, dapat dilihat dari sejauh mana kualitas teknis berkomunikasi itu sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang berlaku. Dalam konteks komunikasi, maka etika yang berlaku harus sesuai dengan norma-norma setempat. Berkomunikasi yang baik menurut norma agama berarti harus sesuai dengan norma agama yang dianut. Jadi kaitan antara nilai etis dengan norma yang berlaku sangat erat. 

Pertimbangan etis bukan hanya di antara baik dan buruk, juga bukan diantara baik dan baik. Etika juga harus merujuk kepada patokan nilai, standar benar dan salah. Kita berhadapan dengan masalah etika kapan saja kita harus melakukan tindakan yang sangat mempengaruhi orang lain. Tindakan itu bukan tindakan terpaksa. Pada diri kita ada kebebasan untuk memilih cara dan tujuan berdasarkan patokan yang kita yakini. Patokan itu dapat bersumber pada label budaya, filsafat dan agama. Sebagian orang bahkan tidak mau merujuk kepada patokan secara ketat. Menurut mereka patokan itu bisa saja menyesatkan secara etis pada situasi tertentu.

Dalam pengertian yang sempit, etika sering dipahami sebagai hal-hal yang bersifat evaluatif, menilai baik dan buruk. Tetapi, etika dapat dipahami secara lebih luas, bukan sekedar etis dalam pengertian faktor-faktor evaluatif memberikan penilaian, tetapi juga mengandung pengertian etos, yakni hal-hal yang bersifat motivatif (mendorong). Dalam hal etika komunikasi, bagaimana aturan main berkomunikasi, yaitu tata cara berkomunikasi antar manusia khususnya komunikasi massa.

Pada era reformasi, setiap orang mudah menerbitkan surat kabar atau majalah dan mendirikan statsiun televisi atau radio siaran. Peran etika tentu sangat penting terutama bagi para pengelola dan wartawan media tersebut. Demikian pula para penulis, penyiar radio siaran, televisi, sutradara film dan para pelakunya, serta pembuat atau pelaku iklan, wajib tunduk pada aturan yang berlaku. Hanya dengan seperti ini mereka akan berhasil menjalankan misi dan fungsinya. Pelanggaran terhadap etika akan menghambat kelancaran tugas mereka dan akan mengagalkan misi dan fungsi di tengah masyarakat.

Rivers, et al (2003) mengemukakan ukuran-ukuran tentang pelaksanaan tugas media yang baik mulai dibakukan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat tentang kode etik profesi pers. Diantaranya :
1.Tahun 1923 American Society of Newspaper Editors (sebuah organisasi nasional) memberlakukan Kode Etik Jurnalisme yang mewajibkan surat kabar senantiasa memperhatikan kesejahteraan umum, kejujuran, ketulusan, ketidakberpihakan, kesopanan dan penghormatan tyerhadap privasi individu. Adanya kode etik ini bukan hal yang ringan, karena surat kabar sudah berusia 300 tahun ketika kode etik diberlakukan, dan selama abad 17 dan 18 surat kabar gigih memperjuangkan kebebasannya.
2. Tahun 1937 Kode Etik Radio Siaran dan 1952 Kode Etik Televisi sudah beberapa kali disempurnakan, ditengah ketatnya kontrol pemerintah yang mengharuskan media elektronik tidak hanya mengikuti perubahan iklim intelektual, tetapi juga mengharuskan media elektronik selalu memperhatikan “kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan publik”. Kode etik memperlakukan media elektronik terutama sebagai sumber hiburan, selain menjalankan fungsi pendidikan bagi masyarakat. 
3. Tahun 1930 mulai diterapkan Kode Perfilman tentang standar perilaku minimum yang tidak boleh dilanggar. Namun dalam kode ini tidak terlalu diperhatikan terutama sejak 1960-an, selain ketentuan tentang standar jenis film untuk setiap golongan usia. Kepatuhan terhadap ketentuan atau kode-kode etik itu jelas merupakan pelanggaran terhadap teori libertarian. Karena itu media lebih dekat dengan teori tanggung jawab sosial.

Pada mulanya pengelola media (cetak dan elektronik) mengkritik konsep tanggung jawab sosial namun munculnya konsep itu mengandung dua arti penting, yaitu :
1.             Mencerminkan keyakinan tentang kebenaran pemikiran baru
2.             Kondisi masyarakat modern sudah tidak sesuai dengan pemikiran libertarian.

2.4 Masalah Etis Bagi Jurnalis
Jurnalis harus bebas dari kepentingan. Meskipun mengabdi pada kepentingan umum, pers tidak akan lepas dari kepentingan. Yang dapat dilakukan adalah menekan kepentingan tersebut, sebab tidak ada ukuran pasti seberapa jauh kepentingan itu tidak boleh terlibat dalam pers. Ada beberapa ukuran normatif yang dapat dijadikan pegangan bagi jurnalis, diantaranya:
1)        Hadiah, perlakuan istimewa, biaya perjalanan dapat mempengaruhi kerja jurnalis. Maka seorang jurnalis harus berani menolaknya. Tanpa kemampuan tersebut kerja jurnalis dan profesionalismenya akan direndahkan. Apalagi semakin maraknya “buadaya amplop” yaitu jurnalis yang suka menerima amplop.
2)     Keterlibatan dalam politik, melayani organisasi masyarakat tertentu menjadikan profesi wartawan sebagai pekerjaan sambilan perlu dihindari. Keterlibatan dalam politik akan memunculkan conflic of interest (konflik kepentingan) pada diri wartawan yang bersangkutan. Orang yang berafiliasi pada politik, tidak akan bisa memberitakan kebobrokan dan kecurangan partainya.
3)    Tidak menyiarkan sumber berita individu jika tidak mempunyai nilai berita (news value). Wartawan harus mempertimbangkan apakah seseorang itu memang mempunyai nilai berita atau tidak. 
4)        Wartawan akan mencari berita yang memang benar-benar melayani kepentingan individu atau kelompok tertentu. 
5)  Wartawan melaksanakan kode etik kewartawanan untuk melindungi rahasia sumber berita. Bila narasumber tidak ingin disebutkan namanya, wartawan harus melindungi namanya.
6)   Plagiatisme harus dihindari karena merupakan aib bagi dunia kewartawanan. Plagiatisme salah satu bentuk kecurangan yang harus dihindari, misalnya mengutip sebuah tulisan media lain dengan tidak menyebutkan sumbernya atau memakai foto media lain tanpa menyebutkan sumber foto tersebut.

2.3 Tuntutan Masyarakat Kepada Pers
Hal ini muncul karena ada tuntutan masyarakat untuk pers, diantaranya :
1)      Media harus menyajikan pemberitaan yang bernar, komprehensif dan cerdas. Media dituntut untuk selalu akurat dan tidak boleh berbohong.Fakta disejikan sebagai fakta, opini dikemukakan sebagai opini.
2)       Media harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik. Media harus berfungsi sebagai penyebar gagasan, yaitu menyodorkan suatu masalah kepada khalayak untuk dibahas bersama, meskipun tidak ada aturan hukum yang mewajibkan pers menjalankan fungsi ini. Hal ini muncul karena adanya kekhawatiran akibat konsentrasi kepemilikan media kepada sedikit pihak. Banyak pihak mencemaskan hal ini karena akan mempersempit wahana ekspresi publik.
3)          Media harus menyajikan gambaran khas dari setiap kelompok masyarakat. Mereka harus memahami kondisi semua kelompok masyarakat secara akurat, tanpa terjebak dalam stereotip.
4)       Media harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Ini tidak berarti media harus mendramatisasi pemberitaannya, melainkan berusaha mengaitkan suatu peristiwa dengan hakikat keberadaan masyarakat dan hal-hal yang harus diraihnya. Media adalah instrumen pendidikan masyarakat sehingga media harus memikul tanggung jawab sebagai pendidik dalam memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya kepada tujuan dasar masyarakat.
5)     Media harus membuka akses penuh ke berbagai sumber informasi. Akses informasi menjadi kian penting jika mengingat kepemimpinan mudah berpindah tangan, sebagai orang biasa suatu ketika bisa mendapatkan dirinya pada posisi penting tertentu.[1]
   
   Sumber :
Ardianto, Elvinaro dkk. 2009. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
       Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa: Bab 8 Etika Komunikasi Massa.
       http://niluhayupradithawidiastuti.blogspot.com/2012/01/etika-komunikasi-massa.html




[1] Dirangkum dari Ardianto, Elvinaro dkk. 2009. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media. (Hal. 198-202)

Related Post



ucon mengatakan...

terima kasih

Posting Komentar